Senin, 20 September 2010

Kumpulan Cerpen Kompas

arsip cerita pendek kompas minggu

Romansa Merah Jambu


Bagi Gadis, menyendiri di tepi danau, menunggu seseorang yang pernah berjanji padanya tidak cuma bingung dan termenung.
Dia pergi ke tepi danau di tengah hutan setelah usai memanen padi ladang bersama Bapak dan Emak. Bila akan pergi ke tepi danau berair biru jernih itu, dia tak lupa membawa beberapa lembar kain belacu putih dan peralatan menyulam. Di keheningan tepi danau tercium olehnya harum bunga mawar hutan. Dia dengar nyanyian burung dan hiruk pikuk kawanan kera. Dia melihat gelepar ekor ikan di permukaan danau. Air beriak bagaikan tersibak. Di atas tebing, daun pepohonan sangat rimbun—bercermin di air danau yang bening.
Sekian tahun silam, menjelang petang, seorang pelukis tua berjanggut lebat, dan putranya datang dari kota ke ladang di tepi hutan itu. Pemuda tampan itu menyetir mobil jip tua dan membantu sang ayah membawa peralatan melukis. Bapak dan Emak Si Gadis mengizinkan Si Pelukis dan putranya memasang tenda di tepi ladang. Perupa itu berniat melukis fauna dan flora di hutan sekitar itu. Dia juga mau melukis peladang, pengail ikan di sekitar danau, mawar hutan, dan pemandangan alam.
Baca entri selengkapnya »
Ditulis oleh tukang kliping
19 September 2010 pada 06:29
Ditulis dalam cerpen
Dikaitkatakan dengan

Macan Lapar


Ketika saya membaca SMS dari sahabat saya William John dari California bahwa ia akan datang ke Solo untuk mencari Putri Solo yang gaya berjalannya seperti Macan Lapar, saya terbahak. Ketika ia melanjutkan SMS-nya bahwa jika ia tidak menemukan seorang Putri Solo yang Macan Lapar itu, dalam bahasa Jawa: Macan Luwe, berarti saya menyembunyikannya. Lagi-lagi saya terbahak.
Sebaliknya saya mengancam, jika ia main-main saja dengan Putri Solo, misalnya mengajaknya kumpul kebo, saya akan melaporkannya ke Presiden Obama. Ternyata John berani bersumpah bahwa ia serius akan menikahi Putri Solo yang Macan Lapar itu dan memboyongnya ke Amerika. Anak keturunannya kelak, janji John, merupakan masyarakat baru Amerika yang akan mendatangkan berkah. Saya menyambutnya dengan mengucap amin, amin, amin. Okey, jawab saya. Insya Allah, John, saya akan membantumu untuk menemukan Putri Solo si Macan Lapar itu.
Baca entri selengkapnya »
Ditulis oleh tukang kliping
5 September 2010 pada 06:24
Ditulis dalam cerpen
Dikaitkatakan dengan

Rongga


Desa yang aneh. Saat warna merah di ujung langit, desa itu senyap. Begitu hening dan pulas. Meski lampu-lampu mulai dinyalakan, nyaris tak ada desah keluar. Suara bisu desir angin yang berbisik di celah hutan bambu, mencekam. Batu-batu jalanan desa seperti tahu bahwa tidak seharusnya suara menjadi penguasa saat senja mulai datang, dan kesedihan tanpa terasa saling menyapa di antara awan yang berwarna jingga.
Kesedihan beranak pinak dan seperti bedug bertalu-talu memecahkan dada. Tapi, layaknya aturan dari Tuhan, di desa itu kesedihan tidak boleh dibicarakan. Seperti tiran, ketika kesedihan dibicarakan, tanpa ampun lagi, kerongkongan penduduk berlubang dengan sendirinya, dan suara selamanya tidak akan pernah keluar dari mulutnya.
Baca entri selengkapnya »
Ditulis oleh tukang kliping
29 Agustus 2010 pada 19:36
Ditulis dalam cerpen
Dikaitkatakan dengan

Lempuyangan: Seraut Kenangan


Sinyal masuk stasiun dibuka. Kereta kujalankan kembali dengan kecepatan rendah. Tampak Stasiun Lempuyangan detik demi detik semakin membesar, mendekat. Orang-orang sudah berbaris di jalur dua. Kecepatan kereta berangsur-angsur kuturunkan selepas melewati perlintasan di bawah jembatan layang yang penuh mural di setiap sisi penyangganya. Kereta mulai memasuki area stasiun, tepatnya di jalur dua.
Aku mengerem sekali lagi, perlahan-lahan, kulihat barisan penumpang yang berjejal. Seorang petugas stasiun baru saja menangkap surat perjalanan yang kuserahkan lewat jendela. Akhirnya kereta pun berhenti. Dan seperti biasanya, perempuan itu sudah ada di situ, berdiri di ujung barat stasiun, tersenyum padaku.
Baca entri selengkapnya »
Ditulis oleh tukang kliping
22 Agustus 2010 pada 09:31
Ditulis dalam cerpen
Dikaitkatakan dengan

Ordil Jadi Gancan


Dari bawah pohon sawo di sudut alun-alun, Ordil menatap bade tumpang sembilan itu dengan pandang berseri-seri, tapi juga dengan perasaan memuncak dengki. Dia girang, niat melampiaskan dendam sebentar lagi terpenuhi. Pada saat sama, kebencian membakar rongga dadanya, karena jenazah orang yang paling ia musuhi memperoleh kehormatan dibakar dengan menara megah bertumpang sembilan.
Ordil melangkah pelan mendekati bade yang dibangun dari bambu, dibalut kapas biru, merah, kuning, hijau, membentuk wajah boma dengan mata mendelik, kedua tangan terbuka lebar dengan kuku-kuku panjang. Di kedua sisi membentang sayap dililit kain putih, membuat menara itu bagai hendak terbang. Tumpang sembilan mengkerucut ke atas, dihias kertas-kertas emas dan warna-warni, sehingga bade itu menjadi sebuah meru yang meriah dan pesolek. Cahaya sore membuat warna-warna prada yang membungkus tiang-tiang bade kian gemerlap, berpendar ke daun-daun beringin di sebelahnya.
Baca entri selengkapnya »
Ditulis oleh tukang kliping
15 Agustus 2010 pada 21:10
Ditulis dalam cerpen
Dikaitkatakan dengan

Tukang Obat Itu Mencuri Hikayatku


Suatu malam dia datang ke rumahku. Dia memperkenalkan dirinya sebagai pengelana yang berasal dari jauh. Katanya, ia datang ke kampung kami untuk mengadu nasib sebab di kampungnya dia tidak memiliki apa-apa lagi.
Sebagai orang yang dituakan di kampung, aku menyambutnya dengan sangat baik. Kulayani dia selayaknya tamu yang benar-benar baru tiba dari perjalanan sangat jauh. Bincang-bincang kami pun mengalir seperti air. Lalu dia minta aku bercerita. Cerita tentang apa saja, katanya. Tentang kampung ini juga boleh, pintanya.
Aku pun mulai bercerita tentang sejarah kampungku apa adanya, seperti yang kudapat dari kakekku semasa hidupnya dulu. Kulihat dia sangat menyimak ceritaku.
Baca entri selengkapnya »
Ditulis oleh tukang kliping
8 Agustus 2010 pada 11:06
Ditulis dalam cerpen
Dikaitkatakan dengan

Perjalanan


1.
Selalu, kuingat tentang kisah picisan kita, Sonya. Setiap menelusur kota pada malam hari. Bahkan dari gigil udara malam, dendang solilokui tentangmu dapat memancing kehangatan.
Bila, kata orang sebijak-bijaknya, jodoh merupakan salah satu tulang rusuk yang tercerabut. Tidak bagiku. Kau adalah sebelah mataku. Yang kugunakan untuk mengenal dunia.
Baca entri selengkapnya »
Ditulis oleh tukang kliping
1 Agustus 2010 pada 09:57
Ditulis dalam cerpen
Dikaitkatakan dengan

Kemarau


Barangkali karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim kemarau terlanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai September.
Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir-pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus—yang amat jarang bagus.
Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan napas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu sejak kecil, aku punya firasat, bahwa nanti jika dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima.
Baca entri selengkapnya »
Ditulis oleh tukang kliping
25 Juli 2010 pada 11:44
Ditulis dalam cerpen
Dikaitkatakan dengan

Sonya Rury


Mendengar isak tangisnya, aku terhisap memasuki lorong panjang, penuh kelokan. Pada setiap tikungan, aku menemukan jejak luka yang dalam. Aku tak ingin mencari sebab di balik matanya yang sembab. Aku sangat menghormati keputusannya untuk menangis, di antara detak jarum jam yang menikam dan mengiris.
Air matanya begitu indah: mengalir berbulir-bulir penuh cahaya serupa permata. Aku ingin memunguti dan menguntainya menjadi kalung dan mengenakan di leher jenjang perempuan itu. Siapa tahu, kalung air mata itu dapat sedikit menghiburnya? Tapi niatku yang baru saja kuhunus itu pupus. Ia tiba-tiba menatapku sambil mengucap lirih, “Kamu masih mendengar tangisku?”
Tentu saja aku mengangguk. Dengan lirih kukatakan bahwa aku memang telah menyiapkan waktuku, perasaanku, dan seluruh dalam diriku hanya untuk mendengarkan tangisnya. Dia tersenyum. Tatapan matanya menunjukkan dirinya lega dan dia pun meneruskan tangisnya.
Baca entri selengkapnya »
Ditulis oleh tukang kliping
18 Juli 2010 pada 20:21
Ditulis dalam cerpen
Dikaitkatakan dengan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar